Backpacker Bukan Sekedar Nama, Backpacker adalah Identitas.


Tiga gelas kopi hitam tersaji di depan kami. Selalu ada hal seru untuk diperbincangkan ketika kami bertiga berkumpul.
Feri berapi-api menceritakan pengalamannya berselancar mencicipi Bono, sebuah gelombang tinggi di Sungai Kampar, Riau. Aku dan Dian antusias mendengarkan. Tak semua orang berkesempatan berselancar di sebuah sungai dengan gelombang super besar dan tinggi seperti Feri.
Gelombang Bono tak muncul sepanjang tahun. Hanya pada waktu-waktu tertentu gelombang tersebut muncul. Tentu hal paling menarik adalah gelombang tersebut muncul di sebuah sungai, bukan laut. Feri mengaku bahwa Bono adalah ombak paling luar biasa yang pernah dia rasakan.
Sementara Dian baru saja pulang dari kunjungannya ke sebuah negara kecil di Eropa, Lithuania. Negara kecil dengan suasana romantis khas eropa. Sangat jarang ada polisi di sana karena saking rendahnya tingkat kriminalitas. Bahkan sebuah rumah dengan pintu terbuka saat siang hari lazim dijumpai di sana. Warganya cukup murah senyum dibanding warga eropa lain seperti Jerman atau Inggris, misalnya.
Vilnius, ibu kota Lithuania nampaknya membuat Dian benar-benar jatuh cinta. Dirinya tak henti-hentinya memuji berbagai bangunan tua eksotis bergaya gothik dan rennaissance.
Aku menyeruput kopi hitamku. Cerita mereka membuat imajinasiku melayang. Selalu menyenangkan menyimak kisah perjalanan seseorang. Perjalanan mereka begitu menarik, entah karena memang menarik atau karena cara mereka bercerita yang membuatku tertarik ingin pula berkunjung kesana.
Aku sendiri  baru saja pulang dari tanah Sumatera. Perjalanan penuh perjuangan menuju Danau Kaco di Jambi tak akan kulupakan seumur hidup. Aku termasuk yang beruntung, sebab saat aku berkunjung, di sana tak terlalu padat dan bertepatan dengan bulan purnama. Kebeningan Danau Kaco berpadu dengan semburat cahaya purnama membuatku seakan berada di negeri dongeng.
Kini kami semua kembali berkumpul di tempat yang sama sebelum kami berangkat ke destinasi kami masing-masing. Suasananya pun sama, ditemani pisang tebus, kacang rebus, dan tentu segelas kopi hitam.  Angin malam menyusup lewat celah jaketku.
“Ternyata begini rasanya jadi backpacker,” Dian berbicara sambil tak henti mengunyah pisang rebusnya. Dirinya memang tipe wanita yang sangat cuek.
“Jadi, kita sah jadi backpacker?” Feri melempar balik omongan Dian.
Mereka berdua menatapku seperti meminta jawaban. Aku mengangkat bahu. Memang di antara kami aku memiliki riwayat perjalanan yang lebih lama dan jauh.
Sudah 3 tahun sejak pertama kali aku memutuskan mengangkat ransel dan melangkahkan kaki keluar “rumah”. Saat itu Karimunjawa menjadi tujuan pertamaku.
Apakah setiap orang yang bepergian menggunakan ransel sah menjadi seorang backpacker?
Pada awalnya aku sama sekali tak pernah memusingkan, apakah aku seorang backpacker atau bukan, pertanyaan dari Feri dan Dian barusan mengusik pikiranku. Ada beberapa orang yang menganggap hal ini cukup penting. Suatu perbuatan negatif dari seorang yang mengaku backpacker, dapat merusak citra backpacker lain secara umum.
Sekarang ini backpacking seperti menjadi trend baru di kalangan anak muda. Ketika kamu tertawa terbahak –bahak bersama teman-temanmu dalam bus hingga mengganggu penumpang lain, atau saat kamu tak menghormati adat warga lokal, kemudian kamu memperkenalkan diri sebagai seorang backpacker pada mereka, hal tersebut mungkin akan berdampak ketika ada backpacker lain berkunjung dan sudah menerima cap negatif karena ulahmu sebelumnya.
Backpacker tak sekedar nama. Menjadi Backpacker adalah masalah jati diri dan kepribadian. Kepribadian seorang backpacker. Ada beberapa prinsip yang haru dipegang berkepribadian seorang backpacker;

1. Irit Bukan Berarti Pelit



Bukan rahasia seseorang ingin bepergian dengan biaya seminimal mungkin. Hal yang perlu diingat adalah, irit bukan berarti kita harus menjadi seorang yang pelit. Pandailah mengelola uangmu. Daptkan hasil semaksimal mungkin dengan biaya seminimal mungkin.
Terpenting, jangan pernah segan mengeluarkan uang di perjalanan untuk suatu hal yang mungkin hanya bisa kamu dapatkan sekali seumur hidup. Terakhir, backpacking bukan shopping. Belilah oleh-oleh seperlunya, dan tidak memakan ruang di ranselmu, atau sebaiknya kamu membawa koper dan tinggalkan ranselmu.

2. Siap Tiap Saat dan Tanggap



Sesempurna apapun kamu menyiapkan rencana perjalanan, akan selalu adahal tak terduga di perjalanan. Ban  bocor, ketinggalan kereta, dihadang hujan badai, tak menemukan hostel  karena semua terisi penuh, tak akan menjadi masalah bagi seorang backpacker.
“Backpacker bukan seorang pengeluh keadaan, backpacker adalah pemberi solusi. Pelajari situasi dan pecahkan masalah, itulah yang dilakukan seorang backpacker”

3. Buka Telinga dan Mulutmu



Kemampuan bersosialisasi dan berkomunikasi terhadap lingkungan baru menjadi salah satu kemampuan yang wajib dimiliki seorang backpacker. Tentu tak semua orang memiliki kemampuan bersosialisasi yang baik, tapi paling tidak kamu dapat menunjukan itikad baikmu untuk berkomunikasi  dengan seorang yang baru, dengan masyarakat baru.
Tak kalah penting adalah, belajarlah mendengar. Sifat dasar manusia, mereka sangat suka didengarkan. Jika kamu dapat menjadi pendengar yang baik, 80%  peluangmu dicap sebagai “seorang kenalan baru menyenangkan diperjalanan” dapat dipastikan.

4. Perkenalkan, Sebuah Teknologi Bernama Google



Memang sekarang ini sangat banyak terdapat forum untuk para backpacker. Di sana kita dapat dengan mudah meminta panduan atau tips jika kita akan berkunjung ke suatu tempat. Meski demikian, ingat bahwa mereka bukan tour agency yang akan dengan setia meladeni pertanyaanmu.
Setidaknya, cobalah berusaha cari informasi selengkap mungkin di google, sebelum kamu bertanya dengan polosnya di sebuah forum. Seorang backpacker adalah pengumpul informasi yang baik.

5. Tunjukan Kamu Bukan Pembual



Kamu hanya akan dianggap pembual, saat kamu bercerita panjang lebar tentang perjalananmu tanpa bukti foto ataupun video dokumentasi. Tak perlu sebuah kamera DSLR mahal untuk mendokumentasikan perjalananmu, sebuah kamera hp sudah cukup sebagai bukti kamu pernah berada di tempat tersebut. Foto selfie bukan sebuah dosa, rajin-rajinlahberfoto selfie.
Gelas kopi kami telah kosong. Hanya tersisa beberapa biji kacang rebus. Feri dan Dian mengangguk-anggukan kepalanya mendengar kuliah singkatku mengenai backpacking. Tentu aku bukan seorang profesor bertitel master backpacker yang membuat penjelasanku tadi pasti benar.
Aku tak peduli anggukan kepala Feri dan Dian tanda setuju atau sekedar menghargai pendapatku, karena aku tak meminta pembenaran. Memberikan pandangan pribadi tentang suatu masalah terkadang menjadi cukup penting.
“Jadi, kesimpulannya, apa kita sudah sah jadi backpacker?” Feri mengulang pertanyaannya.
“Tebaklah”. Aku berlalu sambil tertawa.
Previous
Next Post »
Thanks for your comment